Kamis, 08 September 2011

PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM


Khadijah binti Khuwailid adalah satu-satunya istri Muhammad bin Abdullah yang tidak pernah dimadu.

            ”... Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik dan laki-laki yang baik hanyalah untuk wanita yang baik...” (An Nur 26).

            Khadijah binti Khuwailid, menurut riwayat Ibnul Atsir dan Ibnu Hisyam, adalah seorang wanita pedagang yang mulia dan kaya. Beliau sering mengirim orang kepercayaannya untuk berdagang. Ketika mendengar tentang kejujuran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemuliaan akhlaknya, Khadijah mencoba memberi amanat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa dagangannya ke Syam (sekarang Palestina, Syira, Lebanon, dan Yordania).
Khadijah membawakan barang yang lebih baik dari apa yang dibawakan kepada orang lain. Dalam perjalanan dagang ini, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditemani Maisarah, seorang kepercayaan Khadijah. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima tawaran ini dan berangkat ke Syam bersama Maisarah meniagakan harta Khadijah. Dalam perjalanan ini, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil membawa keuntungan yang berlipat ganda sehingga kepercayaan Khadijah bertambah terhadapnya. Selama perjalanan tersebut, Maisarah sangat mengagumi akhlak dan kejujuran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua sifat dan perilaku itu dilaporkan oleh Maisarah kepada Khadijah.
Khadijah tertarik pada kejujurannya dan ia pun terkejut dengan keberkahan yang diperolehnya dari perniagaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khadijah kemudian menyatakan hasratnya untuk menikah dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perantara Nafisah binti Muniyah.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya, kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hal itu kepada paman-pamannya. Setelah itu mereka meminang Khadijah untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari paman Khadijah, Amr bin Asad. Saat itu usia  Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dua puluh lima tahun. Usia Khadijah sendiri empat puluh tahun, pada masa itu dia merupakan wanita yang paling terpandang, tercantik, pandai, sekaligus kaya.
Mengenai keutamaan dan kedudukan Khadijah dalam kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya ia tetap mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepanjang hidupnya. Telah disebutkan di dalam riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Khadijah adalah wanita terbaik pada zamannya.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ali radhiyallahu ’anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Sebaik-baik wanita (langit) adalah Maryam binti Imran dan sebaik-baik wanita (bumi) adalah Khadijah binti Khuwailid”.

Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha, ia berkata,
”Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali kepada Khadijah sekalipun aku tidak pernah bertemu dengannya. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kambing, beliau berpesan, ’Kirimkan daging kepada teman-teman Khadijah.’ Pada suatu hari, aku memarahinya lalu aku katakan, ’Khadijah?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ’Sesungguhnya, aku telah dikarunia cintanya’.”

Ahmad dan Thabrani meriwayatkan dari Masruq dari Aisyah rahiyallahu ’anha, ia berkata,
”Hampir tidak pernah Rasulullah keluar rumah sehingga menyebut Khadijah dan memujinya. Pada suatu hari, Rasulullah menyebutnya sehingga menimbulkan kecemburuanku. Aku lalu mengatakan, ’Bukankah ia hanya seorang tua yang Allah telah menggantinya untuk kakanda orang yang lebih baik darinya?’ Rasulullah marah seraya bersabda, ’Demi Allah, Allah tidak menggantikan untukku orang yang lebih baik darinya. Dia beriman ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakanku, dia membela dengan hartanya ketika orang-orang menghalangiku, dan aku dikaruniai anak darinya, sementara aku tidak dikaruniai anak sama sekali dari istri lainnya’.”

Selain Ibrahim yang dilahirkan Mariah Al-Qibthiyah, semua putra-putri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan dari rahim Khadijah. Pertama adalah Al-Qasim, dan dengan nama ini pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dijuluki Abul-Qasim, kemudian Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fatimah dan Abdullah. Abdullah ini dijuluki Ath-Thayyib dan Ath-Thahir. Semua putra Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia selagi masih kecil. Sedangkan semua putri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat menjumpai Islam dan mereka masuk Islam serta ikut hijrah. Hanya saja mereka semua meninggal selagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, kecuali Fathimah. Dia meninggal dunia selang enam bulan sepeninggal beliau, untuk bersua dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehubungan dengan pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Khadijah, kesan yang pertama kali didapatkan dari pernikahan ini ialah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memperhatikan faktor kesenangan jasadiah. Tampaknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan Khadijah karena kemuliaan akhlaknya diantara kerabat dan kaumnya, sampai ia pernah mendapatkan julukan ’Afifah Thahirah (wanita suci) pada masa Jahiliah.
Pernikahan ini berlangsung hingga Khadijah  meninggal dunia pada usia 65 tahun. Kira-kira dua atau tiga bulan setelah Abu Thalib meninggal dunia, Ummul Mukminin, Khadijah Al-Kubra meninggal dunia pula, tepatnya pada bulan Ramadhan pada tahun kesepuluh dari nubuwah. Tahun kematian Khadijah disebut dengan ”Amul Huzni” (tahun duka cita). Beliau selalu memuji Khadijah dengan penuh kecintaan dan penghormatan sampai meninggal dunia, sehingga Aisyah r.a merasa cemburu kepada Khadijah yang sudah berada di dalam alam kubur itu.
Khadijah termasuk salah satu nikmat yang dianugrahkan Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendampingi selama seperempat abad, menyayangi beliau dikala resah, melindungi beliau pada saat-saat yang kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, rela menyerahkan diri dan hartanya kepada beliau.
Jibril mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata, ”Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan.

Adapun pernikahan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah itu adalah dengan Aisyah kemudian dengan lainnya, maka masing-masing memiliki kisah tersendiri. Setiap pernikahannya memiliki hikmah dan sebab yang akan menambah keimanan seorang Muslim kepada keagungan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesempurnaan akhlaknya.

 ”Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari pada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka ...” (Al Ahzab : 6)
”...Dan tidak boleh kamu menyakiti hati Rasulullah dan tidak boleh pula mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat...” (Al Ahzab : 53)

Setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia lima puluh tiga tahun, yakni setelah Khadijah wafat dan setelah hijrah, baru beliau menikahi istri-istri beliau yang lain, yaitu menikahi Saudah binti Zum’ah, seorang wanita tua, untuk memelihara rumah tangga beliau. Kemudian beliau menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang masih gadis untuk menyenangkan hati Abu Bakar. Kemudian karena melihat Abu Bakar dan Umar bin Khatab sebagai wazir Nabi SAW dan beliau ingin agar kedudukan keduanya sama disisi beliau, maka dinikahilah Hafzah binti Umar. Hafzah adalah seorang janda dan parasnya tidak terlalu cantik. Demikian juga Ummu Salamah yang beliau nikahi ketika telah menjadi janda. Ketika suaminya, Abu Salamah, masih hidup, Ummu Salamah beranggapan tidak ada lelaki lain yang lebih utama dari suaminya. Tetapi Allah Azza wa Jalla memberinya ganti yang lebih baik daripada Abu Salamah, yaitu Nabi SAW. Demikian pula Nabi SAW menikahi Juariyah binti Al Harits ialah untuk mengislamkan kaumnya dan menjadikan mereka bangga terhadap agama Allah. Begitu pula pernikahannya dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Abu Sufyan adalah pemuka kaum musyrik yang getol memusuhi umat Islam. Ummu Habibah meninggalkan ayahnya, dan ia mengutamakan hijrah ke Habsyi bersama suaminya, tetapi malang, setelah sampai di negeri tersebut suaminya murtad. Lalu Nabi SAW mengutus Raja Najasyi untuk mewakili beliau menikahi Ummu Habibah dan membayar maharnya. Terjadilah pernikahan antara Nabi SAW dengan Ummu Habibah, padahal antara beliau dan wanita ini tersekat oleh lautan dan padang pasir (secara harfiah). Pernikahan ini beliau lakukan untuk memperbaiki keadaannya dalam keterasingan seperti itu.
Jadi, pernikahan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan masing-masing istri beliau itu mempunyai hikmah sendiri-sendiri. 


Daftar Pustaka
Al Qur’an Al Karim.
Salim Akhukum Fillah. Gue Never Die.
Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah.
Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy. Sirah Nabawiyah.
Maimunah Hasan. 42 Hikayat Anak-anak.
Rafi’udin, S Ag dan Drs. In’am Fadhali. Lentera Kisah 25 Nabi-Rasul.
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid 1.
Sa’id Hawwa. Al Islam, Jilid 1.
M. Badrutaman, M. Ag. dan Drs. Maman Adb. Djaliel. Perjuangan Nabi Muhammad SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar