Khadijah binti Khuwailid
adalah satu-satunya istri Muhammad bin Abdullah yang tidak pernah dimadu.
”... Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik dan laki-laki yang
baik hanyalah untuk wanita yang baik...” (An Nur 26).
Khadijah binti Khuwailid, menurut riwayat Ibnul
Atsir dan Ibnu Hisyam, adalah seorang wanita pedagang yang mulia dan kaya. Beliau
sering mengirim orang kepercayaannya untuk berdagang. Ketika mendengar tentang
kejujuran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemuliaan akhlaknya, Khadijah
mencoba memberi amanat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan membawa dagangannya ke Syam (sekarang Palestina, Syira, Lebanon, dan
Yordania).
Khadijah
membawakan barang yang lebih baik dari apa yang dibawakan kepada orang lain. Dalam
perjalanan dagang ini, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditemani
Maisarah, seorang kepercayaan Khadijah. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menerima tawaran ini dan berangkat ke Syam bersama Maisarah meniagakan
harta Khadijah. Dalam perjalanan ini, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berhasil membawa keuntungan yang berlipat ganda sehingga kepercayaan
Khadijah bertambah terhadapnya. Selama perjalanan tersebut, Maisarah sangat mengagumi
akhlak dan kejujuran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua sifat
dan perilaku itu dilaporkan oleh Maisarah kepada Khadijah.
Khadijah
tertarik pada kejujurannya dan ia pun terkejut dengan keberkahan yang
diperolehnya dari perniagaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khadijah
kemudian menyatakan hasratnya untuk menikah dengan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan perantara Nafisah binti Muniyah.
Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya, kemudian Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyampaikan hal itu kepada paman-pamannya. Setelah itu
mereka meminang Khadijah untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
paman Khadijah, Amr bin Asad. Saat itu usia Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dua puluh lima tahun. Usia Khadijah sendiri empat puluh tahun, pada masa itu
dia merupakan wanita yang paling terpandang, tercantik, pandai, sekaligus kaya.
Mengenai keutamaan
dan kedudukan Khadijah dalam kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sesungguhnya ia tetap mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepanjang hidupnya. Telah disebutkan
di dalam riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Khadijah adalah wanita terbaik pada
zamannya.
Bukhari dan
Muslim meriwayatkan bahwa Ali radhiyallahu ’anhu pernah mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Sebaik-baik wanita (langit) adalah Maryam binti
Imran dan sebaik-baik wanita (bumi) adalah Khadijah
binti Khuwailid”.
Bukhari dan
Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha, ia berkata,
”Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali kepada Khadijah sekalipun aku tidak
pernah bertemu dengannya. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih
kambing, beliau berpesan, ’Kirimkan daging kepada teman-teman Khadijah.’ Pada
suatu hari, aku memarahinya lalu aku katakan, ’Khadijah?’ Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ’Sesungguhnya,
aku telah dikarunia cintanya’.”
Ahmad dan Thabrani
meriwayatkan dari Masruq dari Aisyah rahiyallahu ’anha, ia berkata,
”Hampir tidak pernah Rasulullah keluar rumah sehingga
menyebut Khadijah dan memujinya. Pada suatu hari, Rasulullah menyebutnya
sehingga menimbulkan kecemburuanku. Aku lalu mengatakan, ’Bukankah ia hanya
seorang tua yang Allah telah menggantinya untuk kakanda orang yang lebih baik
darinya?’ Rasulullah marah seraya bersabda, ’Demi Allah, Allah tidak menggantikan untukku orang yang lebih baik
darinya. Dia beriman ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang
mendustakanku, dia membela dengan hartanya ketika orang-orang menghalangiku,
dan aku dikaruniai anak darinya, sementara aku tidak dikaruniai anak sama
sekali dari istri lainnya’.”
Selain Ibrahim yang dilahirkan Mariah Al-Qibthiyah, semua putra-putri Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan dari rahim Khadijah. Pertama
adalah Al-Qasim, dan dengan nama ini
pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dijuluki Abul-Qasim, kemudian Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fatimah dan Abdullah. Abdullah ini dijuluki Ath-Thayyib dan Ath-Thahir. Semua putra
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia selagi masih kecil.
Sedangkan semua putri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat
menjumpai Islam dan mereka masuk Islam serta ikut hijrah. Hanya saja mereka
semua meninggal selagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup,
kecuali Fathimah. Dia meninggal dunia selang enam bulan sepeninggal beliau, untuk
bersua dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehubungan
dengan pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Khadijah, kesan
yang pertama kali didapatkan dari pernikahan ini ialah bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memperhatikan faktor kesenangan
jasadiah. Tampaknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan
Khadijah karena kemuliaan akhlaknya diantara kerabat dan kaumnya, sampai ia
pernah mendapatkan julukan ’Afifah
Thahirah (wanita suci) pada masa Jahiliah.
Pernikahan
ini berlangsung hingga Khadijah meninggal dunia pada usia 65 tahun. Kira-kira
dua atau tiga bulan setelah Abu Thalib meninggal dunia, Ummul Mukminin,
Khadijah Al-Kubra meninggal dunia pula, tepatnya pada bulan Ramadhan pada tahun
kesepuluh dari nubuwah. Tahun kematian Khadijah disebut dengan ”Amul Huzni”
(tahun duka cita). Beliau selalu memuji Khadijah dengan penuh kecintaan dan penghormatan
sampai meninggal dunia, sehingga Aisyah r.a merasa cemburu kepada Khadijah yang
sudah berada di dalam alam kubur itu.
Khadijah
termasuk salah satu nikmat yang dianugrahkan Allah kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendampingi selama seperempat abad, menyayangi
beliau dikala resah, melindungi beliau pada saat-saat yang kritis, menolong
beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad
yang berat, rela menyerahkan diri dan hartanya kepada beliau.
Jibril
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata, ”Wahai
Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya
ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya
dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga,
yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan.
Adapun pernikahan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah itu adalah dengan Aisyah kemudian
dengan lainnya, maka masing-masing memiliki kisah tersendiri. Setiap
pernikahannya memiliki hikmah dan sebab yang akan menambah keimanan seorang
Muslim kepada keagungan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesempurnaan
akhlaknya.
”Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari pada diri mereka
sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka ...” (Al Ahzab : 6)
”...Dan tidak boleh kamu menyakiti hati Rasulullah dan tidak boleh pula
mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat...” (Al Ahzab : 53)
Setelah Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia lima puluh tiga tahun, yakni setelah
Khadijah wafat dan setelah hijrah, baru beliau menikahi istri-istri beliau yang
lain, yaitu menikahi Saudah binti Zum’ah,
seorang wanita tua, untuk memelihara rumah tangga beliau. Kemudian beliau
menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang
masih gadis untuk menyenangkan hati Abu Bakar. Kemudian karena melihat Abu
Bakar dan Umar bin Khatab sebagai wazir Nabi SAW dan beliau ingin agar
kedudukan keduanya sama disisi beliau, maka dinikahilah Hafzah binti Umar. Hafzah adalah seorang janda dan parasnya tidak
terlalu cantik. Demikian juga Ummu
Salamah yang beliau nikahi ketika telah menjadi janda. Ketika suaminya, Abu
Salamah, masih hidup, Ummu Salamah beranggapan tidak ada lelaki lain yang lebih
utama dari suaminya. Tetapi Allah Azza wa Jalla memberinya ganti yang lebih
baik daripada Abu Salamah, yaitu Nabi SAW. Demikian pula Nabi SAW menikahi Juariyah binti Al Harits ialah untuk
mengislamkan kaumnya dan menjadikan mereka bangga terhadap agama Allah. Begitu
pula pernikahannya dengan Ummu Habibah
binti Abu Sufyan. Abu Sufyan adalah pemuka kaum musyrik yang getol memusuhi
umat Islam. Ummu Habibah meninggalkan ayahnya, dan ia mengutamakan hijrah ke
Habsyi bersama suaminya, tetapi malang, setelah sampai di negeri tersebut
suaminya murtad. Lalu Nabi SAW mengutus Raja Najasyi untuk mewakili beliau
menikahi Ummu Habibah dan membayar maharnya. Terjadilah pernikahan antara Nabi
SAW dengan Ummu Habibah, padahal antara beliau dan wanita ini tersekat oleh
lautan dan padang pasir (secara harfiah). Pernikahan ini beliau lakukan untuk
memperbaiki keadaannya dalam keterasingan seperti itu.
Jadi, pernikahan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan masing-masing istri beliau itu
mempunyai hikmah sendiri-sendiri.
Daftar Pustaka
Al Qur’an Al Karim.
Salim Akhukum Fillah. Gue Never Die.
Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah.
Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy. Sirah Nabawiyah.
Maimunah Hasan. 42 Hikayat Anak-anak.
Rafi’udin, S Ag dan Drs. In’am Fadhali. Lentera
Kisah 25 Nabi-Rasul.
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Fatwa-fatwa
Kontemporer, Jilid 1.
Sa’id Hawwa. Al Islam, Jilid 1.
M. Badrutaman, M. Ag. dan Drs. Maman Adb. Djaliel. Perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar